Muradi : Puisi Panglima Di Rapimnas Golkar Sangat Tidak Etis |
"Yang pertama, secara etika politik ya, Panglima sangat tidak etis, beliau adalah bagian dari pemerintahan. Yang kedua, seharusnya dirinya membangun kontruksi pemerintahan yang lebih koordinatif," kata Muradi kepada 88dg88.com, Selasa (23/5/2017).
Menurut saya, jika ada yang ingin disampaikan Panglima TNI seharusnya bisa memberitahukan kepada Presiden Joko Widodo secara langsung, bukan justru "mengumbarnya" lewat sebuah puisi. Jika ada masalah sebaiknya Panglima tidak mengkritik secara terbuka.
"Jika selama ini dirinya merasa tidak cukup baik, sampaikan ke Presiden, sehingga jangan seolah-olah kemudian dia kritik tapi dia bagian dari pemerintahan. Beliau seharusnya bisa lebih bijak menempatkan diri dalam posisi pemerintahan," ujar Muradi.
"Sekelas Panglima mengkritisi maka harusnya yang dilakukan oleh Pak Gatot itu melaporkan ke Jokowi sebagai kepala pemerintahan, bukan secara terbuka begitu, itu nggak etis banget," kata dia.
Peneliti senior Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung ini juga mempertanyakan latar belakang Panglima TNI membacakan puisi tersebut. Dia menyarankan Panglima TNI mengklarifikasi tindakannya tersebut sebelum menimbulkan kegaduhan atau mundur dari jabatannya.
"Ada baiknya beliau mengklarifikasi. Ini gaduh loh, ini nggak sehat Panglima mengkritisi terbuka kemudian viral di mana-mana seolah-olah dia bukan bagian dari rezim," ucap Muradi.
"Kalau dia nggak nyaman, harusnya dia minta mundur, jangan kemudian kritik ke luar seolah-olah dia paling bersih," ujarnya.
Namun Muradi menilai sejauh ini pemerintahan Jokowi-JK cukup solid meski banyak diguncang berbagai isu dan permasalahan. Sebaiknya, Muradi menambahkan, Panglima TNI juga meminta maaf atas puisi tersebut supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
"Saya nggak ngerti alur berpikir Panglima karena selama ini (pemerintahan Jokowi-JK) sudah sangat solid ya, diuji berbagai unjuk rasa segala macam solid, tapi tiba-tiba ada puisi yang sebenarnya itu bagian dari puisi Denny JA untuk pemerintahan tapi dibacakan terbuka oleh Panglima," tuturnya.
"Saya menyarankan kalau beliau tidak sadar itu puisi yang mengganggu atau membuat gaduh ya beliau minta maaf terbuka bahwa itu adalah khilaf atau beliau tidak sadar. Nah karena itu dibacakan terbuka, pilihan beliau adalah menyerahkan mandat mundur dari Panglima TNI. Jadi pilihannnya sudah sangat jelas," tuturnya.
Seperti diketahui, dalam Rapimnas Golkar, Gatot berbicara banyak mengenai isu bangsa, salah satunya soal pengungsi ilegal. Gatot mengatakan dia punya puisi yang tepat terkait dengan pembahasan soal pengungsi ilegal. Puisi tersebut milik Denny JA yang berjudul 'Tapi Bukan Kami Punya'.
"Ini tangisan suatu wilayah, dulu dihuni Melayu, di Singapura, sekarang menjadi seperti ini (sambil memperlihatkan slide tentang pengungsi). Kalau kita tak waspada, suatu saat bapak-ibu sekalian, anak cucunya tidak lagi tinggal di sini. Gampangnya, kita ke Jakarta semua teratur rapi, punya Betawi di sana?" ujar Gatot sambil menyimpulkan isi puisi tersebut di Novotel Hotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (22/5).
Berikut ini puisi lengkap yang dibacakan Panglima Gatot yang berjudul 'Tapi Bukan Kami Punya' :
Sungguh Jaka tak mengerti
Mengapa ia dipanggil ke sini.
Dilihatnya Garuda Pancasila
Tertempel di dinding dengan gagah.
Dari mata burung Garuda
Ia melihat dirinya
Dari dada burung Garuda
Ia melihat desa
Dari kaki burung Garuda
Ia melihat kota
Dari kepala burung Garuda
Ia melihat Indonesia
Lihatlah hidup di desa
Sangat subur tanahnya
Sangat luas sawahnya
Tapi bukan kami punya
Lihat padi menguning
Menghiasi bumi sekeliling
Desa yang kaya raya
Tapi bukan kami punya
Lihatlah hidup di kota
Pasar swalayan tertata
Ramai pasarnya
Tapi bukan kami punya
Lihatlah aneka barang
Dijual belikan orang
Oh makmurnya
Tapi bukan kami punya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar